
Pura Agung Besakih
Pura Besakih, yang terletak di kaki Gunung Agung, merupakan kompleks pura terbesar dan paling penting di Bali. Berada di desa Besakih, kecamatan Rendang, kabupaten Karangasem, pura ini tidak hanya dikenal sebagai tempat ibadah, tetapi juga sebagai destinasi wisata yang memikat. Pura Besakih menawarkan pemandangan alam yang luar biasa, dengan latar belakang Gunung Agung yang menjulang tinggi, serta pemandangan hamparan sawah dan lautan yang dapat dinikmati dari kawasan pura. Sebagai tempat suci umat Hindu di Bali, pura ini juga memiliki makna spiritual yang dalam, dipercaya sebagai pusat energi positif bagi pulau Bali. Setiap tahun, ribuan wisatawan datang untuk merasakan suasana sakral dan keindahan alam yang menyelubungi Pura Besakih, menjadikannya salah satu objek wisata budaya terpopuler di Bali.
Sejarah Pura Besakih
Pura Besakih, yang terletak di lereng Gunung Agung, memiliki sejarah yang sangat panjang dan penuh dengan cerita-cerita yang beragam. Sebagai kompleks pura terbesar di Bali, asal-usulnya diyakini berakar dari zaman kuno, bahkan jauh sebelum masuknya pengaruh agama Hindu di pulau ini. Terdapat berbagai versi cerita yang mencoba menjelaskan sejarah Pura Besakih, termasuk mitos dan bukti arkeologi yang ditemukan di sekitar area pura, seperti peninggalan zaman megalitikum, menhir, dan struktur teras piramida yang menunjukkan bahwa tempat ini sudah dihuni dan dihormati sejak ribuan tahun lalu.
Versi Sejarah Menurut Rsi Markandeya
Salah satu versi yang paling terkenal adalah cerita mengenai Rsi Markandeya, seorang pemimpin spiritual asal India yang dikatakan mendirikan Pura Besakih pada abad ke-13. Berdasarkan legenda yang berkembang, pada tahun 1284, Rsi Markandeya mendapatkan wahyu untuk membangun sebuah tempat ibadah di Bali. Beliau melakukan perjalanan panjang dari tanah Jawa, menyeberangi Selat Bali bersama dengan 8.000 pengikutnya, hingga akhirnya sampai di kaki Gunung Agung.
Di sana, mereka mulai membuka hutan untuk bertani, namun mengalami banyak kesulitan, termasuk banyaknya pengikut yang meninggal secara misterius. Setelah kembali ke Dieng untuk bertapa dan mencari petunjuk, Rsi Markandeya akhirnya diberikan wahyu untuk melakukan ritual dengan menanam lima unsur logam (Panca Datu) di tempat suci yang kini dikenal sebagai Pura Besakih. Ritual ini dipercaya memberikan keselamatan bagi para pengikutnya dalam melanjutkan pekerjaan mereka di Bali.
Selain itu, Rsi Markandeya juga dikenal sebagai orang yang mengganti nama Pulau Bali menjadi Pulau Wali, yang berarti "sesaji suci," sebuah nama yang kini terkait erat dengan tradisi upacara di Bali. Pura Besakih pun berkembang dari sebuah tempat suci menjadi kompleks pura yang besar dan penting dalam kehidupan umat Hindu Bali.
Versi Sejarah Menurut Sri Kesari Warmadewa
Versi sejarah lainnya berasal dari Sri Kesari Warmadewa, seorang raja dari Dinasti Warmadewa yang memerintah Bali pada abad ke-10. Berdasarkan prasasti yang ditemukan di beberapa lokasi, seperti Prasasti Blanjong dan Prasasti Penempahan, Sri Kesari dikenal sebagai pemimpin yang memperkenalkan dan memperluas keberadaan Pura Besakih. Beliau tidak hanya membangun pura, tetapi juga meresmikan beberapa bangunan suci di sekitar kawasan Besakih, termasuk Pura Gelap, Pura Kiduling Kreteg, dan Pura Batumadeg, untuk memuja berbagai dewa Hindu seperti Iswara, Brahma, Wisnu, dan Durga.
Sri Kesari juga dikenal karena tekadnya dalam memuja Gunung Agung sebagai tempat yang sakral, yang akhirnya menjadi pusat kegiatan keagamaan di Bali. Selain itu, beliau juga memerintahkan umat Hindu untuk merayakan hari Nyepi, yang hingga kini masih menjadi salah satu tradisi besar di Bali.
Kedua versi sejarah ini, meskipun berbeda dalam rincian, menunjukkan pentingnya Pura Besakih sebagai pusat spiritual dan budaya Bali. Pura ini tidak hanya sebagai tempat ibadah, tetapi juga simbol dari kekuatan dan keharmonisan alam serta kehidupan spiritual masyarakat Bali.
Makna Nama Besakih
Nama "Besakih" berasal dari kata Basuki dalam bahasa Sanskerta Kuno, yang juga dikenal dengan sebutan Wasuki dalam bahasa Jawa Kuno. Dalam bahasa Sanskerta, Basuki memiliki arti "selamat" atau "keamanan." Dalam mitologi Hindu, Basuki juga merujuk pada seekor naga besar yang terlibat dalam kisah Samudramanthana atau pengadukan lautan susu, di mana naga ini melilit Gunung Mandara untuk menghasilkan nektar kehidupan. Nama ini menggambarkan kekuatan dan perlindungan, yang selaras dengan fungsi spiritual Pura Besakih sebagai tempat yang diyakini membawa keselamatan dan keseimbangan bagi umat Hindu di Bali.
Pura Besakih sendiri diyakini memiliki sejarah yang sangat tua, bahkan jauh sebelum pengaruh agama Hindu masuk ke Bali. Berdasarkan temuan-temuan arkeologi dan tradisi megalitikum di sekitar kawasan pura, dapat diperkirakan bahwa tempat ini sudah dihormati sebagai situs suci sejak zaman prasejarah. Salah satu cerita sejarah yang terkenal menyebutkan bahwa Raja Bali kuno, Sri Kesari Warmadewa, menemukan sebuah pura kuno di area Besakih yang dikenal dengan nama Merajan Selonding. Sri Kesari juga dikenal karena memerintahkan pembangunan Monumen Blanjong di Desa Sanur yang berfungsi sebagai prasasti penting untuk mengabadikan kekuasaannya.
Selain itu, kompleks Pura Besakih dibangun dengan memperhatikan keseimbangan alam semesta. Susunan pura-pura di kompleks ini dirancang sedemikian rupa agar menggambarkan harmoni dan keteraturan kosmos, sesuai dengan prinsip-prinsip spiritual yang mengajarkan hubungan erat antara manusia, alam, dan Tuhan. Pura Besakih, melalui struktur bangunannya, mencerminkan simbolisme duniawi dan spiritual yang saling berhubungan, mewakili keseimbangan antara dunia luar dan dalam.
Ketika mengunjungi Pura Besakih, salah satu pura terbesar dan paling suci di Bali, penting untuk mengikuti aturan berpakaian yang sopan sebagai bentuk penghormatan terhadap tempat ibadah dan umat Hindu yang sedang bersembahyang. Pengunjung diharapkan mengenakan pakaian yang tidak terbuka, dengan menutupi bagian tubuh tertentu, terutama area bahu dan lutut.
Untuk mempermudah pengunjung, di Pura Besakih telah disediakan kain sarung (kamen) dan selendang yang bisa dipakai selama berada di area suci. Kain sarung dan selendang ini sudah termasuk dalam biaya tiket masuk, sehingga Anda tidak perlu khawatir membawa kain sarung dari tempat asal. Pemakaian kain sarung dan selendang ini adalah bagian dari tradisi dan norma yang berlaku di pura, serta menunjukkan rasa hormat terhadap umat yang sedang melakukan ibadah.
Bali dikenal dengan kekayaan tradisi dan budaya yang sangat dijaga, dan mengunjungi Pura Besakih adalah kesempatan untuk merasakan langsung keagungan spiritualnya. Dengan berpakaian sopan dan mengikuti aturan berpakaian di pura, Anda juga turut menghormati adat dan budaya setempat. Sebagai salah satu tempat yang memiliki makna mendalam dalam agama Hindu Bali, Pura Besakih adalah tempat yang penuh dengan energi spiritual, dan menghargai tradisi berpakaian dengan baik adalah langkah pertama untuk merasakan pengalaman tersebut secara mendalam.






